Tulus
a story by anna berkarya
“Shinta, kamu masih ingat
pertama kali kita bertemu?” kata Rama pada suatu hari, ketika kami sedang duduk
di bawah pohon dekat sekolah kami.
“Yah, aku masih ingat Ram.” Jawabku. Ingatanku
melayang ke masa lalu.
Rama
adalah sahabat terbaikku. Kita mulai berteman sejak SD, waktu itu ada
segerombolan anak laki-laki yang menggangguku. Dia mengambil tasku dan
melempar-lemparkan tasku ke teman-teman lainnya. Saat itu aku baru kelas 3 SD.
Aku mencoba meminta pertolongan pada teman-temanku tetapi tak ada yang berani.
Tiba-tiba ada seorang laki-laki yang merebut tasku dari para penjahat kecil
itu. Dia adalah Raditya Rama Saputra, murid baru pindahan dari Jakarta. Sejak
itulah kami mulai bersahabat, dia selalu menjaga dan memperhatikan aku. Bagiku,
Rama adalah sesosok malaikat yang dikirimkan Tuhan untuk menjagaku. Saat SMP
dan SMA, Rama pun memilih sekolah yang sama denganku. Hari-hari selalu kita
lalui bersama. Saat suka maupun duka, aku terbiasa menghadapinya dengan Rama.
Sekarang, kami tengah bersekolah di sebuah SMA Negeri di Semarang.
“Loh, kok malah melamun Shin?” ucap Rama yang segera
membuyarkan lamunanku.
“Oh..ehm..maaf Ram aku jadi
teringat masa kecil kita dulu.” Kataku gelagapan.
“Oh..santai saja lagi Shin,
tidak perlu gugup seperti itu.” Kata Rama sambil tersenyum.
Oh Tuhan...mengapa aku jadi
lemas seperti ini ketika aku melihat lesung pipit yang tersungging ketika ia
sedang tersenyum. Sungguh...aku merasakan sebuah getaran yang tak jelas
harmoninya. Apakah itu cinta? Tidak! Aku terlalu takut
menyebutnya sebagai cinta. Sungguh, aku tidak ingin menodai persahabatan ini.
Karena aku amat sangat menghargainya. Dan aku tidak ingin merusaknya dengan
perasaan yang tak menentu ini.
“Shinta, kamu kenapa? Kok
bengong lagi?” kata Rama lembut.
“Aku tidak apa-apa Ram, hanya
sedikit pusing.” Kataku mencoba mencari alasan.
“Pusing kenapa? apa kamu
sakit? Pasti gara-gara waktu di kantin tadi kamu cuma makan sedikit kan? Aku
kan sudah bilang, pola makan kamu harus dijaga. Nanti kalau penyakit kamu
kambuh bagaimana? Kamu juga kan yang merasakan sakitnya?” ucap Rama penuh
perhatian.
“Iya Ram, lagian hanya pusing biasa kok, sebentar lagi
juga sembuh.” Ucapku sedikit kesal, kerena Rama selalu bersikap berlebihan.
Bahkan ia mulai mengatur jadwal makan dan istirahatku. Tapi...aku sangat menikmatinya. Bukankah
diperhatikan oleh orang yang kita cintai itu menyenangkan? Ups..maksudnya orang yang kita sayangi.
***
Pagi yang cerah …
Aku bersiap untuk mandi, tapi aku terkaget oleh bunyi
klakson sepeda motor yang sudah terparkir rapi di depan rumahku. Rama, selalu saja ia datang terlalu pagi
(menurutku). Aku membuka pintu depan. Berdirilah Rama yang siap ’mengkhutbahiku’
karena melihatku yang belum mandi.
“Jam
berapa sekarang ? Kok belum mandi sih. Anak perempuan itu bangunnya pagi. Terus, bantu orang tua. Bukannya asyik tidur sampai siang begini
dong.” Kata Rama seperti Pak
Ustad yang menyadarkan para dukun dari kesesatan. Aku mencoba mengalah dan
menyuruh Rama untuk menungguku karena percuma saja jika berdebat dengan Rama.
***
Hari
ini, kami kedatangan siswa baru dari Bandung. Mita Arneita. Seorang perempuan
yang cantik, kalem dan santun. Aku yakin, pasti saat ini mata anak laki-laki di
kelasku langsung melotot melihat Mita. Apalagi Satria, sang playboy cap
teri, matanya serasa akan keluar dari kelopaknya dan tanpa berkedip sedikitpun
saat menatap Mita. Seperti seekor kucing yang kelaparan sedang menatap ikan
asin di meja makan. Benar-benar pandangan yang sangat menjijikkan. Tunggu !
Tapi tidak semua anak laki-laki melotot seperti itu. Seorang laki-laki yang tak
asing bagiku. Rama, saat teman-temannya tengah asyik membicarakan kecantikan
Mita, ia dengan cueknya men-sketsa sebuah gambar. Tanpa peduli dengan kehadiran
Mita.
.........................................................................
Saat
aku tengah menikmati bakso di kantin sekolah bersama Rama tiba-tiba ada suara
langkah yang mendekat.
“Aku boleh gabung dengan kalian? Sebelumnya aku minta maaf sudah mengganggu waktu
makan kalian. Aku tidak tahu harus gabung dengan siapa lagi. Apa kalian
keberatan ?” Kata Mita dengan suara yang amat sangat lembut sekali. Dan itu
semua sangat berbeda dengan kepribadianku selama ini.
“Oh
… tidak apa-apa kok, silahkan saja kalau kamu mau gabung. Lagi pula kami kan
sedang santai, jadi sama sekali tidak mengganggu.” Ucapku selembut mungkin.
Semenjak
hadirnya Mita, aku yang semula hanya berdua dengan Rama, kini menjadi tiga
sahabat yang akrab. Entah mengapa, aku sedikit tidak suka dengan Mita. Padahal,
Mita begitu baik padaku. Mungkin karena dengan adanya Mita perhatian Rama
kepadaku menjadi berkurang. Buktinya, Rama jarang menjemputku ke sekolah. Dan
sering kulihat Mita asyik membonceng di motor Rama saat pulang sekolah. Aku
mulai curiga dengan perubahan Rama. Apa dia mulai jatuh cinta dengan Mita ?
Memang sih wajar jika Rama menyukai Mita, lagipula Mita itu cantik. Laki-laki
mana yang tak tertarik padanya ?
* * *
Sore
itu, Mita berkunjung ke rumahku. Dia ingin meminjam buku catatan kimiaku. Saat
aku tengah mencari buku catatanku yang terselip di rak buku, tiba-tiba Mita
menarik tanganku dan menyuruhku duduk.
“Shinta
… sebenarnya ada yang ingin aku katakan sama kamu. Tapi … aku harap kamu tidak
tersinggung.”
“Bicara
saja Mit, kamu tidak perlu sungkan begitu. Kita kan sudah bersahabat, jadi
tidak perlu menutupi sesuatu seperti itu. Aku janji tidak akan tersinggung.”
Ucapku berusaha meyakinkan Mita.
“Ehm
… begini Shin, sebenarnya aku dan Rama sudah pacaran. Kamu tidak keberatan kan
Shin ?” Kata Mita.
Apa
? Mita pacaran sama Rama ?
Tidak
!!! ini pasti mimpi, Tuhan tolong sadarkan aku dari mimpi buruk ini. Aku
benar-benar tidak rela melepaskan Rama. Sungguh, aku tidak ingin kehilangan
senyum dan perhatiannya untukku. Kenapa Rama lebih memilih Mita? Apa dia tidak
tahu bahwa selama ini aku mulai menyukainya ? Apa dia tidak ingat bahwa akulah
yang selalu ada di sisinya. Aku yang memperhatikan dia.
Aku yang setia mendengarkan cerita-ceritanya. Aku … aku … bukan Mita. Jerit hatiku yang mulai
menangis.
“Shinta
? Kamu tidak keberatan kan ?” kata Mita mengulangi pertanyaannya.
“Eh
… em tentu saja tidak, Mit. Lagipula, asalkan kalian bahagia aku juga bahagia.”
Ucapku yang sangat berlawanan dengan isi hatiku saat ini.
“Syukurlah
… dan ada satu lagi Shin. Aku harap mulai sekarang kamu jangan dekat-dekat lagi
dengan Rama. Yah, aku cuma tidak mau kamu dicap sebagai perempuan yang suka
mendekati pacar orang lain.” Kata Mita dengan pedas.
“Maksud
kamu apa, Mit ? Asal kamu tahu, semua orang sudah mengetahui bahwa aku dan Rama
itu bersahabat sejak dulu. Dan kamu tidak berhak memisahkan kita.” Kataku
emosi.
“Asal
kamu tahu ya Shin. Rama itu benar-benar cinta sama aku. Dan dia sudah bosan bersahabat dengan kamu. Buktinya dia lebih suka mengantarku pulang dan
pergi ke sekolah kan ? Dan satu lagi, dia berkata kepadaku bahwa dia sudah
tidak ingin bertemu kamu lagi. Kalau aku jadi kamu, aku pasti akan pindah dari
sekolah ini. Karena hidupku pasti tak akan berarti jika dibenci oleh sahabatku
sendiri.” Kata Mita yang sangat menusuk hatiku.
“Diam
kamu Mit ! Aku tidak akan percaya semua kata-kata kamu. Kamu itu tak lebih dari
seorang pembual. Aku yakin Rama tidak mungkin seperti itu.” Kataku sambil
terisak.
“Okey
… kalau begitu kita buktikan, 2 hari lagi kamu ulang tahun kan ? Aku yakin, dia
tidak akan ingat dan tidak akan hadir di pesta ulang tahunmu ! Dengar baik-baik
Shin, perlahan Rama akan mulai melupakanmu dan seluruh perhatiannya hanya
tertuju padaku. Dan kisah RAMA-SHINTA tidak akan berakhir dengan bahagia. Sebab
akulah yang menjadi dalangnya.” Kata Mita dengan seringai jahatnya.
* * *
2 hari kemudian ….
“Happy
Birthday Shinta !” kata Clara, teman sekelasku.
“Terima
kasih Clar, kamu masih ingat saja ulang tahunku.” Kataku pada Clara.
“Ya
pastilah, by the way ulang tahun kamu kali ini mau dirayakan di mana?”
kata Clara bersemangat.
Aku
jadi teringat, dulu setiap aku ulang tahun Rama selalu mengajakku dan teman –
teman sekelasku untuk merayakannya di tempat-tempat yang sejuk di kebun teh, di
pinggir sungai, di dekat air terjun bahkan pernah di sebuah pedesaan yang belum
terjamah oleh polusi. Tapi sekarang, jangankan merayakannya, mengucapkannya pun
belum sempat ia lakukan. Padahal, biasanya Rama adalah orang pertama yang
mengucapkannya.
“Aku
juga tidak tahu Clar, mungkin aku akan merayakannya di rumahku sendiri. Dan
mungkin tanpa Rama.” Jawabku lemah.
“Shin
… sebenarnya kalian itu kenapa sih ? Aku perhatikan akhir-akhir ini kalian
jarang bersama. Apa kalian sedang ada masalah ?” kata Clara prihatin.
“Entah
Clar, aku juga tidak tahu sampai kapan Rama menjauhiku.” Jawabku sambil berlalu
di hadapan Clara.
Mita
benar, Rama tidak hadir di acara ulang tahunku. Apa dia
benar-benar sudah berubah ? Tuhan,
tolong jangan biarkan semua ini terjadi. Aku sangat menyayangi Rama. Dan aku
tidak ingin kehilangannya. Tiba-tiba Rama dan Mita menghampiriku yang tengah
duduk di taman sekolah dan seketika membuyarkan lamunanku.
“Shinta,
aku minta maaf tidak bisa datang ke pesta ulang tahunmu tadi malam. Sungguh,
aku sangat menyesal karena …” Rama tidak melanjutkan kata-katanya.
“Karena Rama pergi denganku ke sebuah acara yang lebih penting
daripada acaramu.” Potong
Mita sambil menggandeng lengan Rama mesra.
Rama menepis tangan Mita dan berusaha untuk
menjelaskan kejadiannya. Namun, aku tidak mau tahu dan segera berlari dari
hadapan mereka. Bagiku semua itu sudah cukup jelas. Rama lebih memilih Mita
daripada aku.
“Rama,
aku sangat mencintai kamu. Sungguh, perasaanku amatlah tulus tanpa mengharapkan
kamu untuk membalasnya. Dan aku akan merelakanmu jika kamu memang memilih orang
lain. Tapi, mengapa orang lain itu harus Mita ? Apa kamu tidak tahu siapa Mita
sebenarnya.” Jerit hatiku yang mulai terluka.
* * *
Hari
ini, aku tidak berangkat sekolah. Karena aku tak ingin teman – temanku melihat
mataku yang sembab gara-gara menangis semalaman. Lalu, aku membuat alasan tidak
enak badan agar orang tuaku mengijinkanku untuk istirahat di rumah.
Tok
… tok … tok …
Ku
dengar suara pintu rumahku diketuk. Kubuka jendela untuk mengetahui siapakah
yang bertamu. Aku bergegas menuju pintu depan untuk membukakan pintu saat
kulihat Rama berdiri sambil membawa parsel buah. Namun kuurungkan niatku saat
kulihat Mita berdiri di sampingnya. Lalu aku kembali ke kamarku tanpa
memperdulikan kehadiran mereka.
Kubenamkan wajahku di atas bantal empukku. Merenungkan semua permasalahanku. Perlahan ku coba
bangkit dan meraih buku harianku. Aku mencoba mencurahkan seluruh isi hatiku
melalui tulisan – tulisan di sebuah buku mungil itu.
Mendung
gemuruhkan pedihku
Rintik
hujan enggan menyapaku
Berlalu
… tiada gemingkan ragu
Yang
mulai menyusup dalam kalbu
Angin …berhentilah tiupkan namanya
Ombak … hentikan langkah kecilku untuknya
Bintang … jangan terangi lagi pandangku
Karena
aku tak ingin melihatnya lagi di mimpiku
Embun … jangan biarkan aku meneteskan air
mata untuknya
Burung … bawa terbang hatiku agar tak hinggap lagi padanya
Cinta … menjauhlah dariku … aku tak ingin
rasakan lagi derita batin ini
* * *
Keesokan
harinya, Rama datang menjemputku untuk berangkat sekolah dengannya. Namun aku
justru menghampiri Mang Udin, sopir keluargaku untuk mengantarkanku ke sekolah.
Sesampainya
di sekolah, aku tidak berbicara sepatah katapun pada Rama. Hatiku terlalu sakit
jika berhadapan dengannya. Saat pelajaran kosong, Rama menarik tanganku dan
memaksaku mengikutinya. Rama membawaku ke taman sekolah.
“Shinta
… aku minta maaf karena sudah membuatmu marah. Aku memang salah karena selama
ini aku sudah mengecewakanmu. Tapi aku mohon Shin, jangan siksa aku dengan
sikapmu yang tak acuh seperti ini.” Kata Rama sambil menggenggam tanganku.
“
… “ aku tetap diam, karena aku tidak tahu harus berbicara apa lagi. Di satu
sisi aku masih sangat menyayangi Rama dan berharap bisa seperti dulu lagi. Tapi
di sisi lain aku sangat kecewa dengannya. Hatiku hancur dibuatnya dan aku tidak
ingin merasakannya lagi.
“Shinta,
aku mohon bicaralah. Aku akan melakukan apapun agar kamu mau memaafkanku.”
Bisik Rama.
“Aku
ingin kamu pergi Ram ! karena aku tidak ingin melihatmu lagi !” teriakku sambil
melepaskan tanganku di genggamannya.
“Baik
… kalau itu mau kamu. Tapi aku harap setelah itu kamu mau memaafkanku.” Kata
Rama sambil menunduk.
Aku segera berlalu dan tak menggubris kata-katanya
* * *
Minggu yang mendung,
“Shinta ! Bangun sayang, sampai kapan kamu mau tidur
terus ?” teriak Bundaku dari luar kamarku.
“Hooaammh … sebentar lagi Bunda, masih ngantuk nih.” Jawabku sambil menarik selimut agar
menutupi seluruh tubuhku.
Tadi
malam, hujan terus mengguyur Semarang dan sekitarnya. Hingga pagi hari ini pun
masih menyisakan kabut-kabut pekat dan berhawa dingin yang membuatku enggan
beranjak dari tempat tidurku.
“Shinta
bangun dong, ada teman kamu nih.” Teriak Bunda lagi.
“Uh
… siapa sih yang bertamu pagi-pagi begini.” Keluhku
Aku
segera beranjak dan mencuci wajahku. Sesampainya di ruang tamu, kulihat Mita
tengah duduk menunduk sambil memegangi sebuah buku kecil. Dia tidak menyadari
kehadiranku, lalu ku tepuk pundaknya.
“Tumben,
mau apa kamu ke sini ? Apa kamu mau memamerkan hubungan kamu dengan Rama padaku
lagi ? Maaf Mit, aku tidak tertarik.” Ucapku dingin
Dan
tidak terduga, tiba-tiba Mita bersimpuh di depanku sambil menangis
“Maafkan
aku Shin … ini semua salahku. Aku benar-benar menyesal telah melakukan semua
ini. Dan menghancurkan persahabatan kamu dan Rama. Sungguh Shin, aku tidak
bermaksud seperti itu. Aku hanya dibutakan oleh rasa cintaku. Aku mohon maafkan
aku Shin.” Kata Mita dengan air mata berhamburan.
Aku
mencoba membangunkan Mita dan menyuruhnya duduk lagi. Aku benar-benar tidak
mengerti apa yang diucapkan Mita.
“Kamu
tenang dulu Mit, sekarang coba kamu jelaskan satu per satu. Aku tidak mengerti
yang kamu bicarakan.” Kataku bingung.
“Shin
… aku cinta sama Rama. Dari pertama kali bertemu aku sudah menyimpan rasa ini.
Dan aku sangat cemburu dengan kedekatan kalian. Aku ingin diperhatikan Shin.
Maka dari itu aku selalu memaksa Rama untuk mengantar-jemput aku. Tapi, apa
kamu tahu, sepanjang hari Rama selalu bercerita tentang kamu, entah itu di
perjalanan, di kafe ataupun di mall. Aku bosan Shin, aku cemburu oleh sebab itu
aku mengaku bahwa aku dan Rama itu sudah pacaran. Padahal itu semua tidak
terjadi. Aku melakukan semua itu agar kamu merasakan apa yang aku rasakan Shin.
Lalu, saat pesta ulang tahunmu aku pura-pura sakit agar Rama tidak bisa hadir
dan menemaniku. Aku benar-benar bahagia saat itu karena aku bisa membuat hati
kamu hancur. Maafkan aku Shin …” kata Mita sambil terisak.
“Kamu
benar-benar jahat Mit ! Kenapa kamu tega melakukan semua ini ? hatiku
benar-benar sakit Mit mendengar semua ini, dan aku merasa sangat bersalah pada
Rama !” Jawabku emosi.
“Aku
mohon Shin, maafkan aku. Aku juga merasa bersalah pada kalian berdua. Apalagi
setelah aku menemukan buku harian Rama. Hatiku bertambah hancur saat
membacanya.” Kata Mita lirih.
Aku
duduk tertunduk. Aku benar-benar tidak menyangka Mita tega melakukan semua ini.
Aku sedih, marah, dan sangat bersalah pada Rama.
“Aku
minta sekarang juga, kamu pergi dari sini Mit !” bentakku keras pada Mita.
“Baik
… aku akan pergi, tapi aku mohon baca buku harian ini. Jam
9 Rama akan berangkat ke Surabaya
dengan kereta pagi ini. Dan
hanya kamu yang bisa mencegahnya.” Ucap Mita kemudian.
Kurebahkan
tubuhku di sofa. Saat ini aku benar-benar kalut. Ku raih buku harian itu, ku
buka lembar per lembar. Aku terpaku pada sebuah tulisan yang berisi pengakuan
hati Rama
Shinta …
Seorang peri kecil yang begitu mempesona …
Aku menyayanginya lebih dari sahabat biasa
…
Aku tidak mengerti mengapa aku bisa jatuh
hati padanya …
Tapi, dari ketidaktahuanku itulah yang memunculkan
perasaan ini …
Sebuah perasaan sayang yang amatlah dalam. Bahkan, aku tidak mampu untuk
mengungkapkannya
Karena aku takut memilikinya …
Karena aku takut bila suatu saat nanti aku
akan menyakitinya …
Aku janji akan terus menjaga kamu Shin,
dan tidak akan menyakiti hati kamu karena jika aku melakukannya, sama halnya aku menghancurkan diriku sendiri.
Tak
terasa air mataku menetes. Tapi … ini adalah air mata kebahagiaan. Sungguh, aku
benar-benar merasa bahagia karena Rama memiliki perasaan yang sama denganku.
Kini ku buka lembar terakhir. Kali ini aku benar-benar terkejut. Suaraku
tercekat. Lalu, aku segera berlari keluar menuju stasiun yang akan
memberangkatkan kereta pagi ini. Aku tidak peduli meskipun rintik hujan mulai
turun membasahiku. Di buku itu tertulis bahwa Rama akan menungguku di stasiun,
jika aku tak datang, maka Rama akan pergi ke Surabaya untuk selamanya. Kata
Mita, Rama akan berangkat jam 9 pagi. Sedangkan sekarang sudah pukul 8.30 WIB.
Aku harus segera sampai dan mencegah Rama. Aku berlari secepat mungkin,
sepanjang perjalanan tak kutemui taxi yang lewat. Sementara hujan mulai turun
dengan lebatnya. Untunglah masih ada ojek yang tersisa. Aku segera
memboncengnya dan menyebutkan alamat yang akan ku tuju. Sesampainya di stasiun,
jam sudah menunjukkan pukul 9 tepat. Aku berlari dan menemukan Rama hendak
masuk ke kereta, ku panggil namanya keras-keras. Rama menengok dan aku langsung
menghambur ke pelukannya.
“Shinta
… kamu basah kuyup … nanti kalau kamu sakit bagaimana ?” kata Rama sambil
membelai rambutku yang basah.
“Tidak
Ram … maafkan aku, aku sudah tahu semuanya. Aku mohon kamu jangan pergi.”
Kataku sambil menangis.
“Aku
yakin, kamu pasti akan ke sini. Iya … aku juga minta maaf waktu itu aku tidak
hadir di hari spesialmu. Aku benar-benar menyesal.” Kata Rama bersalah.
“Iya
Ram … aku sudah tahu semuanya. Ehm … aku kan sudah membaca ini.” Kataku sambil
memperlihatkan buku harian Rama. Ramapun segera merebut buku itu dariku.
“Jadi
kamu sudah tahu …” kata Rama tidak meneruskan kata-katanya. Mukanya merah
menahan malu.
“Iya
Ram … dan asal kamu tahu, aku juga memiliki perasaan yang sama denganmu.”
Kataku sambil menunduk.
“Dasar
curang …” kata Rama sambil mengacak – acak rambutku dengan gemas.
Tiba-tiba
Rama mengecup keningku dan memelukku. Meskipun seluruh tubuhku basah kuyup
akibat kehujanan. Namun aku merasakan sebuah kehangatan yang tak pernah
kurasakan selama ini. Aku percaya, bahwa segala sesuatu yang didasarkan oleh
ketulusan, pasti akan berakhir dengan sejuta keindahan yang tidak mampu
diukirkan oleh sebuah kata-kata. Bagiku, Rama adalah sepercik ketulusan yang
mampu menghadirkan nuansa indah dalam hidupku.
Kini,
aku tak takut lagi menyebut getar itu sebagai cinta. Karena Rama telah
meyakinkanku atas perasaan yang tak menentu ini. Dan sampai kapanpun, aku akan
menjaga ketulusan cinta ini, agar tetap terjalin untuk selamanya.