JANJI HUJAN
(cerita bersambung eps. 2)
Ada
dua waktu yang selalu kutunggu.
Purnama,
dimana bulan membulat sempurna saat pancaran sinarnya begitu terang membuat
malam tak lagi kelam. Serta... hujan, dimana kali pertama kita dipertemukan
hingga keindahan purnama seakan tergantikan.
Aku
sempurna terkejut ketika seorang pelayan lelaki berbadan tambun memberiku secarik kertas berisikan sajak
tersebut. Aku mengedarkan pandangan disekelilingku. Rumah makan bergaya etnic
tempatku berada memang selalu ramai pengunjung terutama di malam hari.
Bilik-bilik kayu sebagai tempat menyantap hidangan dengan penyekat bambu-bambu
kecil menyuguhkan suasana tradisional serta alunan musik angklung yang begitu
merdu menjadi pelengkap daya pikat rumah makan ini, sebuah nuansa yang mengingatkanku
pada desa kelahiran ibuku. Namun sejauh mata memandang aku tak menemukan
seseorang yang kucari.
“Amira,
kamu lagi nyari apa?” suara Kinan membuyarkan konsentrasiku.
“Orang
yang ngirim kertas ini.” Sahutku sambil terus mengedarkan pandangan.
“Duh
Miraaa...kenapa gak tanya sama mas yang tadi ngasih aja sih?”
God!
What a stupid I am! Kinan benar, kenapa gak tanya langsung sama pelayan yang
tadi sih? Amiraa..where’s your mind?? Dengan langkah seribu aku segera mencari
pelayan itu. Yes, akhirnya ketemu.Bukan perkara sulit untuk mencarinya, karena
tubuhnya yang relatif besar membuatnya mudah ditemukan meskipun berada ditengah
kerumunan.
“Mas,
saya mau tanya siapa yang mengirimkan kertas ini?” aku mengulurkan kertas yang
sedari tadi tak lepas dari genggamanku.
“Oh..itu
tadi dari seorang pria di meja nomor 75. Di lantai atas.” Jawabnya cepat karena
menahan beban makanan diatas nampan yang tengah dibawanya.
“Okey..makasih
mas.” Tanpa menunggu aba-aba aku segera menuju ke lantai atas. Dari atas
terlihat jelas pemandangan dibawah. Meskipun aku sering ke rumah makan ini,
namun baru kali ini aku menginjakkan kakiku dilantai atas. Jika di lantai bawah
menyuguhkan alunan musik angklung serta ornamen-ornamen tradisional lainnya, di
lantai atas agak sedikit berbeda yaitu dengan gaya semi modern meskipun tetap
menggunakan rumah-rumah panggung terbuat
dari kayu yang didesain lebih modern. Ruangan yang sangat luas dengan atap
langit yang menawan. Ditengah-tengah ruangan terdapat kolam air mancur yang
dihias dengan lampu kerlap-kerlip disetiap sudutnya membuat pancaran seribu
cahaya. Pada setiap rumah panggung terdapat lukisan penuh warna dan diatasnya
tergantung lampu-lampu kristal berukuran sedang. Suara gemericik air dan alunan
musik jazz menambah kesan romantis dimana kita juga bisa melihat kerlip bintang
di langit bebas. Aku tertegun. Ternyata begitu banyak keindahan yang telah
kulewatkan.
Plaakkk..Tanganku
refleks menepuk jidat. Amiraaaaaa....kenapa malah melamun, ingat pria nomor
75!! Akupun tergesa mencari meja nomor 75. Setelah mengitari seluruh ruangan
akhirnya aku mendapati meja yang terletak disudut ruangan. Dan demi apapun, ingin
rasanya teriak sekencang-kencangnya karena meja tersebut KOSONG. Aaarrrgghhh...Aku
mendengus sebal mencoba meredam amarah dengan menarik dapas dalam-dalam dan
menghembuskannya secara perlahan. Percaya atau tidak cara itu bisa mengurangi
emosi meskipun hanya satu koma sekian persen. Well, tapi patut dicoba kan?
Belum reda rasa kesalku tiba-tiba ada
seseorang yang menepuk bahuku dari belakang. Karena masih terbawa emosi akupun
berbalik sambil memasang kuda-kuda dan mengepalkan kedua tanganku.
“Weitssss...santai
aku bukan penjahat kok. Peace. Hehehe.” Seorang pria berbadan tinggi kekar
tengah berada di depanku meringis memamerkan jajaran giginya yang putih sambil
mengangkat kedua jarinya membentuk huruf V.
“eh...ehmmm
sorry.” Aku menundukkan kepalaku, salah tingkah karena melakukan hal bodoh.
Akupun mulai menggaruk-garuk rambutku yang tidak terasa gatal sambil terus merutuki
diriku sendiri dalam hati. Pria di depanku tertawa renyah. Akupun mendongakan
kepalaku berusaha menatapnya. Mataku terbelalak. Tuhan, ini bukan mimpi kan?!
“Ini
bukan mimpi.” Pria itu tersenyum simpul seperti bisa membaca pikiranku.
“Ka..Kamu
bisa....” Lidahku tercekat.
“Membaca
pikiran..tentu saja bisa.” Jawabnya cepat.
“Really?????”
Jeritku tanpa kontrol.
Pria
di depanku terkekeh. Aku hanya bisa mengernyitkan dahi sambil memandangnya
dengan takut. Karena melihat eksprsiku akhirnya dia berusaha menghentikan
tawanya.
“Ehm..sorry
aku kelepasan. Jadi kamu pikir aku benar-benar bisa membaca pikiran orang?”
Aku
hanya mengangguk-ngangguk sambil menatapnya serius.
“Kamu
tahu, hal itu hanya ada di film ataupun cerita-cerita fiksi lainnya. Tentu saja
tidak, aku hanya asal menebak. Dan tebakanku ternyata benar.” Ia tersenyum
kepadaku.
Dan
lagi-lagi aku melakukan hal-hal bodoh di depan orang yang baru ku kenal. What a
shame!!
“Apa
kau masih mengenaliku?” ucapnya tiba-tiba.
“Ehm..tentu
saja. Pria di dalam gerbong kereta.” Aku tersenyum malu-malu.
“Syukurlah.”
Lagi-lagi ia memasang senyum manis di wajahnya.
“Apa
kau yang memberikan ini?” aku memperlihatkan secarik kertas yang sudah sedikit
teremas.
Ia
mengangguk sambil tersenyum lebar. “Bukankah takdir yang menyenangkan?”
lanjutnya.
Mata kami saling beradu. Aku terkejut ketika
bulir-bulir lembut menerpa wajahku. Secara bersamaan kami mendongakkan kepala
menatap langit. Benar saja gerimis terjuntai secara perlahan membaur bersama
tanah yang merekah. Kami saling melepar tawa membiarkan hujan membasuh tubuh
kita di pertemuan yang kedua.
Maka
tak ada yang lebih indah selain menjadi saksi dari janji hujan yang tak pernah
ingkar membasuh kerontang.
(Bersambung...)
.................................................................................................................................................