Episode 3
Kuhempaskan tubuhku keras-keras
diatas kasur tempat tidurku. Kubiarkan kakiku yang panjang menjuntai kebawah
hampir mengenai lantai keramik berukir bunga mawar disetiap sudutnya senada
dengan seprai lembut bebungaan berwarna
biru muda dan bantal-bantal besar bermotif serupa. Aku menyukai bunga. Amat dan
sangat. Bagiku bunga adalah simbol keindahan. Segundah apapun perasaanku,
ketika menatap sekuntum bunga maka rasa hangat menjalar keseluruh tubuhku
seketika. Menentramkan. Tak heran ruang petak berukuran 4x4m ini penuh dengan
nuansa bunga. Mawar merah yang tersusun apik dalam vas bening di atas meja
belajar di sudut ruangan, ornamen lampu hias berbentuk bunga, bahkan keset
kakipun bermotif bunga namun yang paling mencolok diantara semua adalah lukisan
besar bunga tulip berwarna-warni yang tergantung manis di dinding yang
berhadapan langsung dengan tempat tidur. Sengaja kuletakan sedemikian rupa agar
ketika aku membuka mata lukisan bunga itulah yang pertama kali kusapa.
Aku membuka-tutup
mataku beberapa kali,mengerjap-kerjap. Aneh, sudah lewat pukul 11 malam tapi
mataku tak kunjung lelah. Mungkinkah karena buncah rasa gembira bertemu
dengannya? Lelaki misterius yang secara tiba-tiba hilang dan muncul
dikehidupanku. Plakkk.. tiba-tiba aku refleks menepuk keningku keras-keras.
Amiraaaa!!! kenapa bisa lupa lupa sih? Kenapa bisa lupa menanyakan namanya!!!!
Entah terlalu senang atau nyaman pertemuan selama tiga jam itu (dengan terpaksa
meninggalkan Kinan sendirian) membuatku lupa untuk mengutarakan hal penting
yang seharusnya pertama kali kutanyakan: NAMA. Arrrgggghhhhhh!
Masih teringat dengan
jelas senyumnya yang menawan memperlihatkan deretan giginya putihnya yang
tersusun rapi. Alisnya yang tebal. Hidungnya yang mancung. Serta matanya yang
kecoklatan membuatnya begitu tampan. Tapi bagaimana mungkin aku bisa terbuai
hingga lupa akan hal penting darinya?? Karena terlalu lelah merutuki diri
sendiri, akupun jatuh terlelap. Semoga pagi menawarkan jawaban atas setiap
harapan.
....................................................................................................................................................
Mentari bersinar hangat, semburat
cahaya kuning keemasan memancarkan berjuta pesona. Awan-awan putih berarak
malu-malu. Burung-burung terbang bergerombol membentuk suatu formasi indah. Di
kejauhan nampak ibu-ibu berseragam olahraga memadati jalan perumahan. Ketukan
sepatu kets menapak aspal menimbulkan bunyi tap
tap tap yang seirama. Ibu berbadan tinggi berambut hitam panjang yang
dikuncir memimpin rombongan didepan sambil tak henti berucap
“Satu..dua..satu..duaa..ayo
ibu-ibu yang kompak. Semangat yaa bu. Jangan lupa tangannya sambil di
gerak-gerakkan.”
Di belakangnya ibu-ibu yang lain berbaris
memanjang ular seperti terhipnotis melakukan instruksi yang diberikan dengan
patuh.
Aku tersenyum
melihatnya dari atas balkon rumah. Seperti biasa, minggu pagi perumahan
tempatku tinggal selalu ramai oleh aktivitas olahraga. Mulai dari lari pagi,
jalan sehat, bersepeda hingga senam sudah menjadi ritual yang tak terlewatkan.
Namun pagi ini aku akan menanggalkan ritual itu semua karena satu hal penting
yang harus kulakukan. Mengejar.
.....................................................................................................................................................
Bus yang saat ini ku tumpangi tidak
terlalu sesak. Aku memilih tempat duduk di dekat jendela agar dapat menikmati
perjalanan. Jika kalian bertanya hal bodoh apa yang sedang kulakukan. Maka aku
hanya bisa menjawab mengejar. Hey,
tolong jangan selalu berasumsi bahwa mengejar itu hal yang memalukan. Apalagi
dilakukan oleh wanita. Why not? Selama mengejar
yang kita lakukan tidak melebihi batasan. Masih dalam taraf wajar. Tidak
berlebihan. Bukankah lebih baik daripada hanya duduk diam dan menunggu? Oke
kalian benar aku hanya mencari pembenaran. Come
one, aku juga lelah berdebat dengan diriku sendiri. Setelah beribu kali
kupertimbangkan dan beribu kali pula aku meyakinkan diriku sendiri atas apa
yang akan kulakukan akhirnya disinilah aku berada. Di dalam bus berkapasitas 40
penumpang dan tentu saja tujuanku adalah menemuinya.
Jarak antara kotaku dan tempat
tinggalnya tidak terlalu jauh sekitar satu setengah jam menggunakan bus setelah
itu turun di terminal berlanjut dengan ojek selama 15 menit. Aku masih hapal
jalan di daerahnya karena kebetulan rumah nenekku berada disana. Sudah tentu
aku beralasan mengunjungi rumah nenek agar diperbolehkan ibuku. Tapi tenang,
aku memang akan menginap dirumah nenek untuk beberapa hari.
.....................................................................................................................................................
“Suasana disini mengingatkanku pada
desa tempat nenekku tinggal. Bilik kayu,
angklung,
sawah hijau. Bahkan suara gemericik air disini hampir serupa dengan aliran
sungai yang berkelok disana.” Aku menerawang sambil tersenyum.
“Benarkah? Aku juga anak pedesaan.
Kapan-kapan berkunjunglah kedesaku. Aku akan memamerkan sejuta pesona dari
ujung hingga ujung yang tak pernah kau lupakan.” Ia menegerling sambil
tangannya menggurat sesuatu pada kertas. Lalu menyerahkannya padaku.
Aku membelalak kaget. “Ini alamat
tinggal kamu?”
Ia
tersenyum lagi seperti tahu apa yang ada dipikiranku. Benar, dia tinggal di
desa yang sama dengan nenekku. Lalu kami menghabiskan waktu tiga jam di cafe
untuk bertukar cerita. Mungkin lebih tepatnya aku yang berbicara banyak hal,
sedang dia banyak tersenyum dan sesekali tertawa terbahak. Baru kali ini aku
cepat akrab dengan orang asing, entahlah aku merasa sangat nyaman berada
bersamanya seperti bersama dengan seseorang yang telah lama ku kenal. Hingga waktu
bergulir begitu saja tanpa terasa. Kami berpisah di depan cafe. Masih melempar
senyum hingga taksi yang kutumpangi menghilang di kelok jalan.
.....................................................................................................................................................
Bimmmmm...bimmmmm..bimm..
Suara klakson bis membuyarkan
lamunanku. Aku mengintip dari balik jendela mencoba mencari tahu muasal
kegaduhan yang terjadi. Puluhan kambing berjejer membentuk barisan horisontal
memanjang di depan laju bus. Diluar sana padang ilalang nan hijau terhampar
sejauh mata memandang. Menandakan sudah semakin dekat dengan tempat
pemberhentian bus terakhir. Aku tersenyum melihat kambing-kambing itu kebingungan
karena sopir bus membunyikan klakson berulang kali dengan gemas. Beruntung bapak
gembala segera muncul menggiring kambing-kambing itu untuk segera menepi. Aku segera
bersiap, memasukkan buku yang sedari tadi digenggamanku kedalam tas. Akhirnya bus
memasuki gerbang terminal, mengumumkan kepada penumpang untuk bersiap turun.
Aku menuruni tangga bus dengan
hati-hati, semilir angin pedesaan memainkan anak rambutku yang menjuntai di
kening. Kuhirup udara dalam-dalam lalu kehempaskan perlahan.
Wahai
tuan yang belum kuketahui namanya, aku sudah tiba.
(Bersambung...)
.....................................................................................................................................................