Cerbung: JANJI HUJAN
(cerita bersambug
eps 1)
Malam ini aku merindukanmu. Entah kau merasakan hal
yang serupa ataupun sebaliknya. Aku tak akan menyalahkanmu jika pada akhirnya
kau membenciku. Aku mungkin memang pantas kau benci atau bahkan kau caci
sekalipun atas keputusan yang telah
kupilih. Tapi ku harap aku tak berdosa karena mengingatmu kembali.
......................................................................................................................................................
Gelegar petir bersahutan,
rintik yang sedari tadi menggelitik perlahan mulai menderas. Kutengadahkan
tanganku keatas. Alisku berkerut sambil menatap jalan yang mulai lengang. Aku
mulai mengedarkan pandangan gelisah. Aku menyukai hujan tapi tidak untuk malam
ini.
“Oh
come on! Kenapa harus bocor saat seperti ini sih!” Aku mendengus kesal sambil
menekan nekan ban sepeda motorku yang kempis.
Bulir-bulir bening itu
mulai menjuntai membasah sekujur tubuhku. Akupun menepikan motorku disebuah
bilik kayu untuk tempat berteduh. Aku menepuk-nepuk bajuku berharap rasa dingin
yang mulai menyergap ikut berjatuhan bersama tetesan air ke tanah. Kuambil
ponsel yang sedari tadi menyelip disaku celana jeans yang kini berubah warna
lebih pekat akibat guyuran hujan, mencoba mencari kontak seseorang yang selalu
bisa kuandalkan. Namun belum sempat aku menekan menu call tiba-tiba ponselku berdering mengalunkan irama musik salah
satu penyanyi favoritku David Archuleta
“to be with you” lagu spesial untuk
kekasihku. Senyumku mulai mengembang, sesegera mungkin kuangkat.
“Hallo..” suara hangat
yang selalu kurindukan menyapaku.
“Panjang umur deh, baru
aja mau aku telfon.” Sahutku.
“Kamu belum sampai
rumah? Suara hujannya jelas banget. Sudah malam kan, lagi dimana sekarang?”
seperti biasa, rentetan pertanyaan terucap ketika Ia tengah khawatir.
“Ban motorku bocor, sejauh
ini belum ketemu bengkel. Jalanan juga sepi. Aku disekitar Jalan Diponegoro,
dekat rumah Kinan.”
“Yaudah kamu tunggu
disitu, sekarang juga aku kesana.” Ujarnya sambil menutup pembicaraan secara
singkat.
Aku menatap
langit-langit malam yang begitu pekat. Dulu aku selalu takut ketika mendengar
suara petir yang begitu kencang. Aku mengumpat ketika langit mulai meneteskan
ribuan kubik air melalui rongga-rongganya. Sampai pada suatu hari kita
dipertemukan di kursi tunggu sebuah stasiun dibawah guyuran hujan. Ketika mata
kita tak sengaja saling beradu. Dan sedikit senyum malu-malu. Masih teringat
jelas saat kereta yang kita tunggu terbuka lebar. Aku menunggu Ibu yang keluar
dari salah satu pintu, sedangkan kau berjalan pelan masuk kedalam melaui pintu
yang sama. Kita masih saling melempar pandang. Hingga bunyi mesin kereta mulai
bergemuruh bersamaan dengan menutupnya pintu kereta dan kau masih berdiri
mematung menatapku. Lalu mulutmu terbuka hendak menggumamkan kata, namun
roda-roda besi itu mulai melesat meninggalkan tempat pemberhentiannya.
Pertemuan yang begitu singkat. Hanya saling melempar pandang. Tapi entah kenapa
hatiku berdegup lebih kencang dari biasanya dan membuatku merindukan hujan
untuk pertama kalinya.
................................................................................................................................
“Berhenti melakukan
itu.” tangannya yang kekar menggenggam jemariku yang sedari tadi menjamah rinai
hujan yang masih lebat.
“Kau tahu, ini sangat
menyenangkan.” Aku tersenyum sambil melepaskan genggaman tangannya dan kembali
menengadahkan jemariku untuk bersentuhan dengan derai hujan.
“Kau juga harus tahu
kalau tanganmu bisa membeku kedinginan jika terus seperti itu.” kali ini dia
menggenggam kedua tanganku kencang mencoba memberi kehangatan.
“Terima kasih.” Ucapku
setengah berbisik.
“Untuk apa?”
“Membuatku menyukai
hujan.”
“Kalau begitu aku juga
harus berterima kasih pada hujan.” Genggamannya semakin erat.
“Untuk apa?” kataku
mengulang pertanyaannya.
“Karena membuatku
mencintaimu.”
Pipiku merona, kutatap
matanya yang lebar, ada binar kebahagiaan yang begitu tulus. Senyumnya selalu tersungging
kala menatapku. Dan aku begitu luluh berada disampingnya.
“Ehem..maaf mas ini
motornya sudah jadi.” Suara berat seorang lelaki paruh baya mengagetkan kami.
Sontak kami menjadi salah tingkah dan melepaskan genggaman tangan yang sedari
tadi tengah erat.
“eh oh..i iyaa pak,
makasih. Berapa ini jadinya pak?” katanya tergagap lucu. Aku hanya terkikik
melihat tingkahnya.
Setelah selesai, kami
memutuskan untuk pulang meskipun harus menerjang guyuran hujan karena sudah terlalu malam. Ia
mengiringiku dari samping dengan motornya. Ia terkekeh menatapku seperti anak
kecil yang suka memainkan air hujan dengan jemariku sambil sesekali meleparkan
air kearahnya. Malam yang begitu dingin terasa hangat oleh tawa lepas kita berdua. Tak ada yang pernah tahu jika semua itu akan menjadi kenangan
yang kelak begitu kurindu.
(Bersambung.....)
1 komentar:
Keren, kata kata nya good :) Next next :")
Posting Komentar